HandPhone Bututku ( Part II)


posted by Sovie Putri Surya on

No comments

...
Suara standar yang menjadi nada dering Handphoneku berbunyi sangat keras. Bapak?? Bapak menelepon?? “Assalamualaikum, Pak.” salamku ketika menerima panggilan itu. “Waalaikumsalam, Amri. Gimana kabarnya, Nak? Sekolahmu baik-baik aja ‘kan?” “Kabar Amri baik, Pak. Sekolah juga. Pak,...” ucapanku terpotong oleh ucapan Bapak. “Amri kalau butuh apa-apa hubungi Bapak aja ya!” Tut, tut, tut...

Panggilan tiba-tiba terputus. Mungkin bapak sibuk dengan bisnisnya. Sejak dulu bapak ingin menjadi pembisnis besar, sampai beliau ham
pir menjual rumah ini sebagai modal bisnis yang ditawarkan oleh rekannya, bapak sangat yakin dengan keuntungan yang akan diperolehnya nanti. Namun ibu menolak karena rumah ini merupakan peninggalan dari kakek satu-satunya, dan ibu merasa bertanggung jawab sebagai anak tunggal untuk melaksanakan pesan terakhir dari ayahnya.

Sejak saat itu bapak dan ibu sering bertengkar, dan akhirnya mereka berpisah. Saat itu aku masih berusia sepuluh tahun.
Sebelum Bapak meninggalkan rumah, beliau sempat memberikan sebuah Handphone padaku yang beliau dapat dari undian jalan santai yang menjadi alat bisnis kecil-kecilannya sekitar tiga tahun lamanya. Aku memberikannya pada ibu, tapi ibu tak mau. Ya sudah, sampai sekarang aku yang menggunakannya, setiap bulan bapak mengisikan sejumlah pulsa di nomor ponselku ini.

Sesekali bapak mengajakku tinggal bersamanya, namun aku lebih suka tinggal dengan ibu. Walau ibu hanya seorang penjual nasi bungkus, sedang bapak sekarang telah membina keluarga baru yang lebih berkecukupan. Aku ingin menjaga ibu, membantunya, hingga aku bisa membahagiakannya. Di sisi lain aku juga bangga dengan bapak, meski beliau telah lama berpisah dengan kami, tetapi beliau sesekali menanyai kabarku, dan mencukupi kebutuhanku yang lainnya.

Aku melanjutkan belajarku, mendengar suara bapak bisa membuatku lebih bersemangat. Senin ulangan Bahasa Inggris, jam pertama, sehabis upacara bendera. Terkadang sekolah membuatku jenuh, namun itu sudah kewajiban. Aku ingin membuat ibu bangga padaku, begitu juga dengan bapak. Dulu bapak pernah berjanji akan menyekolahkan aku dimanapun aku mau, asalkan aku bersungguh-sungguh.

***


bersambung...

Leave a Reply