4 Faktor Utama Kurang Betahnya Gue Kuliah di Luar Pulau


posted by Sovie Putri Surya on

No comments



Menuntut ilmu adalah salah satu alasan seorang anak tinggal jauh dari orangtuanya. Kuliah di luar kota atau bahkan di luar pulau, adalah satu hal yang mau tidak mau harus dijalankan agar dapat memperoleh pendidikan yang lebih baik. Perguruan Tinggi Negeri  ternama seperti UI, ITB, ITS, UNAIR, UB, dan Universitas Negeri lainnya menjadi impian anak sekolah untuk melanjutkan pendidikannya. Nah, pastilah yang sudah diterima disana sangat berat untuk melepasnya, bahkan orangtua pasti sangat mendukung walaupun tempatnya sangat jauh dari kampung halaman.
Menjalani pendidikan di luar pulau melatih seorang anak menjadi sosok yang mandiri, yang tidak lagi bergantung pada orangtua. Namun, ada beberapa faktor yang mempengaruhi seorang anak menjadi kurang betah menjalaninya.
4 faktor ini adalah yang saya rasakan selama berkuliah di Surabaya, yang notabene saya adalah anak perantauan dari pulau kecil di Kalimantan Utara, yakni Tarakan. Oke, langsung aja ye cekidot!

BAHASA DAN BUDAYA
Beradaptasi dengan daerah yang tidak biasa bukan hal yang mudah. Dari segi bahasa dan budaya saja misalnya, Surabaya menggunakan bahasa Jawa Surabaya dalam kesehariannya. Bagi seorang anak perantauan yang tidak ada background Jawa, tentu agak kwalahan untuk berkomunikasi dengan orang-orang sekitar. Selain itu, logat yang biasa digunakan oleh anak perantauan misalnya saja dari Makassar, sangat kontras berbeda dengan logat Jawa dan terkadang dianggap aneh bahkan bisa menjadi bahan tertawaan teman-temannya.  Tapi biasanya anak yang memiliki ciri khas tertentu akan mudah diingat oleh orang-orang di sekitarnya.
KEADAAN DAERAH
Seorang anak yang terbiasa tinggal di daerah yang adem kemudian berpindah ke daerah yang panas, akan memiliki hobi baru, yaitu mengeluh kepanasan. Ini akan membuat anak menjadi malas untuk beraktivitas. Belum lagi jika di kampung halamannya bukan daerah yang luas dan padat penduduk, di kota besar dia bisa mengeluh akan jarak dan kemacetan.
PERBEDAAN WAKTU
Di setiap daerah benar pasti dalam sehari ada 24 jam. Namun, waktu matahari terbit dan terbenam tidak semuanya sama. Misalnya saja di daerah Lhoksemawe, Nanggroe Aceh Darussalam, waktu matahari terbit adalah sekitar pukul 06.30, sedangkan di daerah Surabaya waktu matahari terbit adalah sekitar pukul 05.00. Pada saat berada di kampung halaman, waktu mulainya beraktivitas lebih lambat dari pada di kota yang ditinggali sekarang. Ini membuat seorang anak harus benar-benar bisa mengubah pola hidup dan manajemen waktunya. Biasanya, yang menjadi kendala adalah waktu tidur mereka, yang biasanya terasa cukup, menjadi terpotong karena merasa jam tidur tidak berbeda dengan sebelumnya.
KANGEN RUMAH
Pada momen-momen tertentu seperti Hari Raya Idul Fitri, akan terasa perbedaannya bagi anak kuliah yang tidak bisa pulang kampung. Melihat teman-teman bisa merayakan lebaran bersama keluarga, baik yang tinggal di daerah tersebut maupun yang memiliki kampung yang tidak jauh alias tidak di luar pulau, membuat tekanan batin tersendiri bagi mereka. Hal ini bisa terjadi karena keadaan keuangan yang tidak memungkinkan mencukupi biaya pulang kampung setiap tahunnya. Selain biaya yang lebih mahal, juga waktu liburan yang singkat. Kerinduan akan suasana bersama keluarga memang menjadi hakikat setiap anak, apalagi seorang anak yang sangat dimanja oleh ayah ibunya.

Lalu apakah di antara anda ada yang merasakan seperti ini? Segera ubah pola hidup anda menjadi seorang yang mandiri baik mental, fisik, dan materi.  Selamat menjalani kehidupan baru anda :)

Leave a Reply